L SCOTT LISSNER : Berjuanglah untuk Kesamaan Hak Penyandang Disabilitas
![]() |
L. Scott Lissner University ADA Coordinator Office Of The Provost The Ohio State University bersama Konsulat Jendral AS di Medan, Kathryn Crockart. (lenggogeni) |
HAMPIR 20 tahun para penyandang disabilitas di Amerika Serikat memperjuangkan nasibnya agar diterima masyarakat. Di lingkungan pendidikan maupun dunia lapangan pekerjaan.
Akhirnya berbuah manis. Kini persamaan hak antara penyandang disabilitas dengan masyarakat normal lainnya. Pemerintahan AS menyediakan fasilitas umum bagi para penyandang cacat. Pemenuhan kebutuhannya, seperti pendidikan hingga pekerjaan, bahkan ikut serta berpartisipasi dalam penentuan berhasilnya pesta demokrasi pemilihan umum. Sehingga mereka tidak lagi dianggap sebagai anak manusia yang tidak berguna dan bergantung meminta bantuan dari orang lain. Bahkan penyandang disabilitas cenderung dipandang sebagai 'objek' perlindungan, perlakuan dan bantuan daripada sebagai subjek pemegang hak.
Akibat dari pendekatan ini, para penyandang disabilitas dipisahkan dari masyarakat umum, dan disediakan bagi mereka sekolah khusus, bengkel kerja terlindung (sheltered workshop), dan di masyarakat tertentu juga bahkan perumahan dan transportasi yang terpisah. Ini dilakukan atas asumsi bahwa mereka tidak mampu menghadapi tantangan hidup di masyarakat luas.
Mereka sering tidak diberi kesamaan akses ke hak-hak mendasar dan kebebasan fundamental (misalnya perawatan kesehatan yang memadai, pekerjaan, pendidikan, pemilihan, partisipasi dalam kegiatan budaya), mereka hanya diberi akses ke tempat-tempat yang disediakan khusus bagi penyandang disabilitas.
Akibatnya, para penyandang disabilitas cenderung diperlakukan sebagai orang asing di dalam masyarakatnya sendiri. Masyarakat cenderung memandangnya sebagai suatu keanehan apabila ada penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak dirancang khusus baginya. Lebih jauh pendekatan ini memunculkan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.
Hal itu diceritakan, L. Scott Lissner, University ADA Coordinator Office Of The Provost The Ohio State University, kepada Singgalang, Kamis (26/9), sebelum tampil menjadi narasumber dalam seminar internasional education for all dan pendidikan inklusi di Bank Indonesia Jumat (27/9) dan seminar tentang implementasi pendidikan inklusi di Sumatera Barat dengan target pada 2045 di UNP, Sabtu (28/9).
Dalam seminar tersebut, dia menjelaskan tentang kesadaran, kebijakan, pendidikan, kemerdekaan penyertaan bagi penyandang cacat dan komunitas global. Tidak terbelakang dalam kemajuan pendidikan hingga politik.
Selama tiga hari tersebut, L Scoott Lissner mengisahkan tentang perjuangan seorang temannya agar diterima masyarakat. "Ada seorang teman saya dari kecil, Judith Heumann, aktivis hak-hak penyandang cacat Amerika. Sejak usia 18 bulan dia mengindap penyakit polio. Sedari kecil dia telah mengunakan kursi roda sebagian besar hidupnya. Ketika hendak masuk sekolah dasar, Judith dilarang masuk sekolah, karena dengan kursi rodanya tersebut bisa menghalangi gerak langkah anak lain. Tapi ibunda dari Judith tak pantang menyerah, beliau berusaha agar sang anak memperoleh pendidikan maksimal.
Heumann berhasil menyakinkan pihak sekolah, dengan alasan sang bunda harus menjadi seorang relawan. Heumann menerima tawaran tersebut, serambi memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak," ucapnya. Judith mampu menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Ternyata, folio tidak mempengaruhi otak dan pikirannya menangkap pendidikan. Setelah menyelesaikan pendidikan, akhirnya Judith melamar pekerjaan. Melihat prestasi Judith yang cemerlang dia dipanggil. Lantas setelah melihat fisiknya Judith yang datang mengunakan kursi roda, pihak sekolah itu tidak menerimanya. Dengan alasan dia memiliki kekurangan fisik.
Akhirnya, Judith bisa mengajar dan ikut berpartisipasi aktif besar diloloskannya undang-undang yang melindungi penyandang disabilitas di 1972. Americans with Disabilities Act diresmikan menjadi undang-undang sejak 1990. Undang-undang itu memberikan perubahan signifikan atas perlakuan kepada penyandang disabilitas. Juga berkurangnya diskriminasi dan pemberian hak-hak penyandang disabilitas sebagai warga negara.
"Undang-undang tentang penyandang cacat di AS bukan karena kasihan atau alasan sosial, namun berdasarkan kesetaraan hak dan kewajiban penyandang cacat sebagaimana warga negara lainnya," kata Koordinator American with Disabilities Act Scott Lissner dari Universitas Ohio kepada Singgalang.
Menurut Lissner, sejak 1970-an rakyat AS sudah memandang penyandang disabilitas sebagai warga negara yang memiliki hak dan kemampuan yang sama dengan masyarakat biasa. Pada 1990, AS mengesahkan Americans with Disabilities Act sebagai undang-undang.
Hukum tentang penyandang cacat itu dibuat berdasarkan cara pandang, sebagian uang negara diperuntukkan penyandang cacat. Undang-undang Sipil di AS menyatakan ADA berlaku bagi semua kalangan di AS tanpa melihat suku bangsa, gender, serta semua hal yang rentan diskriminasi. "Setelah undang-undang disahkan, membutuhkan waktu empat tahun lagi, mengimplementasikannya, karena mendapatkan tantangan dari masyarakat," ucapnya. Judith berperan aktif terlibat sebagai advokad bagi pergerakan yang hendak mengimplementasikan undang-undang ini. Dilakukan progress dan aksi sehingga undang-undang tersebut mencuat di tengah masyarakat dan menjadi perhatian pemerintah.
Akhirnya, perjuangan ini berlanjut bahkan dia dipilih sebagai Wakil Menteri Bidang Pendidikan Khusus untuk mensupervisi pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Kini, Judith di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat membidangi gratifikasi undang-undang atau peraturan internasional mengenai hak-hak penyandang disabilitas.
Perjuangannya berhasil, lihatlah di negara adidaya tersebut. Tak ada perbedaan antara penyandang disabilitas dan masyakat umumnya. Setelah melihat pada beberapa kota di Indonesia, Scott Lissner menilai persoalan yang dihadapi Indonesia hampir sama yang terjadi di Amerika Serikat 40 tahun silam. Para penyandang cacat di Indonesia masih berjuang memperoleh kesamaan hak mereka.
Sebenarnya, kata Scott Lissner di Indonesia masih banyak sekali peluang kerja bagi penyandang cacat. Seperti menjadi wiraswasta, di gedung pemerintahan hingga sebagai tenaga pendidik. Tapi menurutnya, bangsa Indonesia sedikit lebih berpengalaman. Lihat saja, mulai bermunculan bagian-bagian atau unsur dari masyarakat yang sudah memenuhi kesamaan hak penyandang disabilitas. Sehingga lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (disabilitas) bertujuan menciptakan peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat.
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sayangnya, UU tersebut belum teralisasi maksimal. Sehingga, para penyandang cacat tidak memiliki kesamaan hak memperoleh pendidikan ataupun perkerjaan. Menurutnya, tidak mudah memperoleh persamaan hak tersebut. Dibutuhkan waktu yang lama. Kesamaan presepsi memandang kaum penyandang cacat serta infrastruktur dari bangunan yang ramah terhadap disabilitas. Serta dukungan dari pemerintah, masyarakat dan keluarga. Agar mampu memotivasi untuk bisa berkreativitas sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Padahal, di balik keterbatasannya tersebut, para penyandang disabilitas memiliki kelebihan, ibarat berlian di tengah pasir. Teruslah berjuang untuk kesamaan hak tersebut. (Lenggogeni -Wartawati Harian Singgalang)
Post a Comment for "L SCOTT LISSNER : Berjuanglah untuk Kesamaan Hak Penyandang Disabilitas"
Silahkan Tinggalkan Komentar Yach..Thanks..
Post a Comment