Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DR YULIARNI SYAFRITA : Impian yang Terwujud

  

DR YULIARNI SYAFRITA

 DOKTER 
Ita, begitulah sapaan dokter cantik bernama lengkap Yuliarni Syafrita. Ia baru saja meraih gelar doktor ilmu biomedik dua bulan lalu. Kini impiannya bisa meraih gelar profesor. Siapa sangka, dulunya Ita tidak berniat menjadi seorang dokter, melainkan seorang guru. Dengan lika liku kehidupan, menghantarkan sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Unand.

    "Awalnya saya tertarik menjadi seorang dokter. Guru adalah profesi yang saya inginkan. Hasrat itu, sudah ditanamkan duduk dibangku SMA," ucap Ita. Setamat pendidikan, Ita remaja mencoba tes masuk ke perguruan tinggi di IKIP (sekarang UNP). Gadis remaja itu lulus dan diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi kala itu.

    Serambi menunggu hasil tes keluar, keluarga menyarankan untuk ikut mencoba tes kembali dan ambil fakultas kedokteran. Ita yang jenius pun diterima sebagai mahasiswa kedokteran. "Saya tidak menyangka bisa diterima. Akhirnya berkat dorongan keluarga besar, saya melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Unand," cerita Ita mengenang masa lalu.

    Ita yang merupakan seorang anak dari Pegawai Negeri Sipil, dan memiliki tujuh bersaudara akhirnya kuliah di Fakultas Kedokteran. Ia pun tak menyangka, bisa menyandang status itu.  Dorongan semuanya sangat berarti. Apalagi, sang mamak, juga betul-betul memperhatikan semua kemenakanannya. Ia mengayomi dibantu dan difasilitasi untuk kuliah.

    "Kebetulan mamak termasuk orang yang ekonominya cukup, sehingga mereka memperhatikan pendidikan keponakannya," ucap Ita. Ita yang pintar pun berhasil menamatkan pendidikannya dengan maksimal pada 1989. Namun, gelora dan hasrat menjadi seorang guru pun semakin menjadi-jadi. Tawaran menjadi dosen dari sang Dekan Fakultas Kedokteran Prof Havid Ardi.

    "Prof Havid Ardi, Dokter Mata menawarkan saya menjadi seorang dosen. Katanya, ada beberapa bagian di klinik butuh staf dosen, syaraf, jiwa dan forensik. Saya memilih ilmu saraf, karena saya tertarik untuk mempelajari," kata Ita.

    Akhirnya Ita yang penuh semangat ditantang untuk staf mengajar, terhitung 1 Februari 1990 harus mulai, tanpa menunggu SK pengangkatan. "Saya pun menerima tawaran itu dengan senang hati. Saya mengabdi setahun lebih sebagai dokter. SK pertama Maret 1991 menjadi baru sebagai staf pengajar di Koskap. Kemudian Prof Basyir menyuruh saya untuk melanjutkan pendidikan S2. Namun ditolak, karena syarat untuk menambah pendidikan yakni tiga tahun setelah PNS," jelasnya.

    Setelah tiga tahun, Ita melanjutkan pendidikan spesialis neurologi di Universitas Indonesia.  Ita mendapatkan dispensasi, dua tahun belajar di Padang, finishing menyambung tiga tahun di Jakarta, Universitas Indonesia (UI).    

    "Saya masuk pendidikan 1994, kemudian pada 1996 melanjutkan ke Jakarta. Saya menamatkan pendidikan pada 1999. Pada 2000 saya kembali mulai mengajar spesialis syaraf di fakultas," cerita Ita. Sepulang menamatkan pendidikan tak ada niat lagi melanjutkan pendidikan S3. 

    "Saya tidak kuat dan merasa berat meninggalkan anak-anak untuk melanjutkan pendidikan lagi. Ketika mengambil spesialis itu, saya meninggalkan anak pertama yang berumur 2,5 tahun, Akmal Irsyadi Iswan.  Sementara itu suami saya, Ir Iswan Akhir MM ditugaskan di Painan," katanya.

    Akhirnya, Ita lega bisa berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya. 'Permata hati' mereka pun bertambah dengan kehadiran Nurul Khairina Iswan, pada 1999 dan tiga tahun kemudian lahir Adzra Fadhila Iswan.

    "Kalau di rumah posisi saya seorang istri dan ibu bagi anak-anak kami. Dalam mengarungi rumah tangga suamilah kepala dalam rumah tangga. Tapi, saya sangat memegang jodoh, rezeki dan maut sudah ada yang mengatur. Yang penting niat harus lurus, rezeki pasti datang. Jangan pernah memandang sebelah mata pasangan kita. Jikalau sudah menikah, rezeki sudah ada yang mengatur," katanya.

    Ita bersama sang suami mengarungi biduk rumah tangga dari nol. "Kami sama-sama berjuang. Tapi kami percaya, rezeki sudah ada yang mengaturnya," kata Ita. Kepada Singgalang, Ita menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan sang suami. 

    "Kami sama-sama anak Gaung. Kami bertemu kembali setelah tamat kuliah masing-masing. Kakak saya dan kakaknya berteman, akhirnya kami berjodoh. Alhamdulillah suami mendukung sepenuh pekerjaan saya," ucapnya.

    Pada 20 Oktober lalu, Ita dinyatakan lulus ujian terbuka disertasi program doktor ilmu biomedik di Aula Fakultas Kedokteran Unand. Tim dosen penguji terdiri dari, Prof Eryati Darwin, Prof Ellyza, Dr Rosfita Rasyid dan dosen undangan Dr Paulus Anam Ong memberi kan nilai sangat memuaskan atas penelitiannya berjudul, 'Hubungan

   Kadar Beta amyloid dan 4 Hydroxynonenal Plasma dengan Gangguan Fungsi Kognitif Pada Penderita Pasca Stroke Iskemik'. Usai pelaksanaan ujian terbuka, Yuliarni Syafrita menyampaikan rasa syukur, puas dan senang karena telah berhasil meraih gelar doktor. Dengan segenap perjuangan, semangat dan kerja keras, akhirnya Yuliarni Syafrina bergelar doktor. "Perasaan ini rasanya campur aduk semuanya, kini beban sudah selesai. Semua itu saya lalui berkat dukungan sang suami dan buah hati kami," ucap Sub Divisi Neurobehaviour Bagian Neurologi FK Unand/RS Dr M Djamil Padang. 

   Keluargalah menjadi penyemangatnya dalam menyelesaikan pendidikan S3. Ia akan mengaplikasikan hasil penelitiannya ditengah masyarakat maupun kepada para mahasiswanya. "Tetap eksis untuk penelitian berikutnya. Tidak berhenti dengan penelitian ini. Akan ada banyak penelitian lainnya yang memberikan manfaat untuk orang banyak," harapnya. Lebih lanjut dikatakannya, penelitiannya kali tentang gangguan kognitif (daya ingat) pada penderita pasca stroke. "Jikalau selama ini diketahui penderita stroke hampir mengalami gejala sesak.

    Tapi dari penelitian, ternyata gangguan daya ingat pasca stroke juga tinggi, hampir 50 persen. Kalau orang stroke sudah lumpuh ditambah gangguan daya ingat. Tentu menambah berat penderitaan pasien, sudah tidak bisa apa-apa, terjadi gangguan daya ingat pula," ucap Ita.

    Dari hasil penelitian tersebut, ia memberikan saran untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor risiko vaskular (confounding factor) terhadap kejadian gangguan fungsi kognitif pasca stroke.

   Kemudian disarankan memasukan variabel ini kedalam analisis pada penelitian berikutnya. Mengikutsertakan dalam penelitian ini individu yang mempunyai faktor risiko vaskular, namun tidak menderita stroke sebagai subjek kontrol. (Lenggogeni)

Post a Comment for "DR YULIARNI SYAFRITA : Impian yang Terwujud"