Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tradisi Menjelang Ramadhan

Lenggogeni
Wartawan Madya

BULAN suci Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Seluruh umat muslim di dunia akan menjalankan puasa. Sebelum memasuki bulan Ramadhan, ada beberapa tradisi yang dilakukan masyakarat.

Salah satunya yang dilakukan Ratasni dan keluarga besarnya di Bungin, Kecamatan Tujuh Koto, Kabupaten Padang Pariaman.  "Besok kita mangaji pusaro (mengaji di pusara)," ucap Jun, anak sepupu Ratasni di ujung telepon sana. Dalam keluarga besar hanya Jun dan Ratasni serta Yuni yang tinggal di ranah minang. Jun menetap di Bukittinggi bersama suami dan anak-anaknya. Sementara Ratasni dan Yuni pun tinggal di Kota Padang.

Mangaji pusaro sudah tradisi keluarga besar nenek moyang keturunan Bungin. Walaupun sudah berada di rantau orang, tradisi tersebut tetap dilestarikan. Dengan kecanggihan teknologi, saudara yang ada di kampung memberitahukan kepada mereka yang ada di rantau. Kalau dekat jaraknya, mereka dengan senang hati pulang kampung.

"Saya membuat gulai ikan dan telur," ucap Jun lagi.  Sementara Ratasni mempersiapkan masakan ikan pedas dan telur goreng pula plus buah semangka.
Hari yang dijanjikan tiba, yakni 15 hari menjelang puasa. Tradisi mangaji pusaro pun dilaksanakan di Pandam Pekuburan Keluarga Besar Di Ateh Toboh, Kecamatan Tujuah Koto, Kabupaten Padang Pariaman.

Sebelum pergi ke Pandam Pekuburan, ia bersama keluarga besar menyampaikan maksudnya kepada urang siak (pembaca ayat-ayat al-qur’an dan doa), yakni mendoakan para orangtua (leluhur) yang sudah wafat, tanaman dan harta pusaka sawah ladang yang ditinggalkan agar berkah, keluarga yang masih hidup rukun dan rezeki penuh berkah.

"Kami bersama keluarga besar lainnya dengan beberapa urang siak duduk di atas hamparan tikar yang sudah disediakan di sekitar kawasan kuburan. Kemudian urang siak memulainya dengan membaca al-fatihah, dilanjutkan membaca surat al ikhlas, al-falaq, an-nas, awal dan akhir surat al-baqarah, tahlilan, salawat kepada Nabi Muhammad SAW dan diakhiri dengan doa bersama. Pada bagian tertentu,  bacaan yang dibaca urang siak kami ikuti. Setelah itu kami pun berdoa disana," jelas Ratasni.
Dilanjutkan makan bersama di tempat yang sudah disediakan. Biasanya, kata Ratasni, semua yang hadir turut makan bersama tanpa kecuali. Tapi tradisi itu sedikit berubah, urang siak saja yang makan di Pandam Pekuburan tersebut.

Usai mangaji pusaro, kata Ratasni, seluruh keluarga besar pun menyumbang ala kadarnya, tentunya sesuai dengan kemampuan. Tergantung kondisi ekonomi, makin sehat ekonominya, tentu sumbangannya kian besar.  Selanjutnya sumbangan dibagi sadakah (amplop) urang siak yang turut berdo’a dan tahlilan.
Sebelum melakukan tradisi tersebut, Ratasni bersama keluarga besarnya, membersihkan lahan pandam pekuburan dari semak belukar yang sudah memenuhi areal pekuburan.

"Kami bersama kaum laki-laki dan sebagian perempuan yang ada nenek moyang dan dunsanak (saudara) yang sudah dikuburkan di areal ini datang bergotongroyong bersama-sama," katanya. Seperti dikutip dari www.nu.or.id ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dalam tradisi tersebut, yakni mendekatkan para anggota kaum yang masih hidup pada kuburan. Semua yang hadir teringat akan mati, sehingga selalu mengingat kematian dan menjauhi perbuatan dosa dan memperbanyak amal shaleh.
Kemudian, memupuk rasa bergotongroyong dengan bersama-sama bersihkan pandam pekuburan. Meningkatkan silaturrahmi sesama anggota kaum. Selama ini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan urusan sendiri, sudah banyak pula  muncul generasi baru (anak kemenakan) sehingga perlu diperkenalkan dengan dunsanak yang lain. Keempat, memperkenalkan tradisi yang sudah dilakukan kaum sejak lama kepada anak-anak dan generasi muda.

Selain tradisi mangaji pusaro di Pariaman. Ada beberapa tradisi yang dilakukan masyarakat lainnya di Ranah Minang. Yakni mambantai (menyembelih hewan ternak seperti sapi) dan malamang (membuat lamang).
Tradisi tersebut bisa Anda temui di Jembatan Kampung Kalawi. Berjejer, pondok-pondok kecil menjual daging. Harganya pun bervariasi, sesuai dengan harga pasaran satu kilogram daging di pasar.

"Biasanya masyarakat berbondong-bondong membeli daging disana. Ada yang mengolah daging tersebut menjadi rendang, dendeng atapun sup. Untuk persiapan sahur dan berbuka puasa besok harinya," kata Geni.

Tak hanya itu, masih di tanah Bundo Kandung, ada sebuah tradisi lain yang dilakukan menyambut bulan Ramadhan. Di sini, masyarakat berkumpul dan bergotong royong membuat nasi lemang pada ruas-ruas bambu yang telah dipotong-potong.
Tradisi ini biasanya dilakukan dua hari menjelang Ramadhan. Dan hasil lemang yang dimasak tadi akan dijadikan hantaran ke rumah mertua sebagai permohonan maaf.
Selain itu, sebahagian masyarakat di Indonesia melaksanakan tradisi menyambut bulan suci Ramadhan. Berikut kami akan memberikannya untuk Anda sebagaimana dikutip dari, zona-1000.blogspot.com :

1. Mungguhan
Mungguhan, satu kegiatan berkumpul bagi anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita saling bermaaf-maafan sambil menikmati sajian makanan khas untuk kemudian mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan yang akan datang. Tradisi ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang sunda dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya tradisi ini dilakukan hampir semua golongan masyarakat walaupun dengan cara yang berbeda-beda.
Tetapi intinya tetap satu, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian makanan yang disuguhkan.
Inilah tradisi yang biasa dilakukan ditengah masyarakat sunda pada umumnya yang secara turun temurun terus dipertahankan oleh setiap generasi berikutnya.

2. Nyorog
Di Betawi, tradisi nyorog atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti bapak/ibu, mertua, paman, kakek/nenek, menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Meski istilah nyorognya sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang masih ada di dalam masyarakat Betawi. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.
Tradisi nyorog di masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan bulan suci Ramadhan akan segera datang, selain itu tradisi nyorog juga sebagai pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.

3. Jalur pacu
Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang mirip dengan lomba dayung. Tradisi jalur pacu ini digelar di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional, seluruh masyarakat akan tumpah ruah jadi satu menyambut acara tersebut.
Tradisi yang hanya digelar setahun sekali ini akan ditutup dengan balimau kasai atau bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam.

4. Padusan
Lain daerah pasti lain pula tradisinya, masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta biasa melakukan upacara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air ditempat-tempat kramat. Tradisi ini disebut padusa yang bermakna agar jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir dan batin. Selain itu juga bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan sebelumnya.

5. Dugderan
Tradisi dugderan ini berasal dari kota Semarang, Jawa Tengah. Nama dugderan sendiri berasal dari kata 'dug' dan 'Der'. Kata 'dug' diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan. Sedangkan kata 'der' sendiri berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan bersamaan dengan tabuhan bedug.

Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan ditengah perkembangan jaman. biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat.
Untuk tetap mempertahankan suasana seperti pada jamannya, dentuman meriam kini biasanya diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran. Bleduran terbuat dari bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, untuk menghasilkan suara seperti meriam biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api.

6. Dandangan
Perayaan tradisi 'dandangan' merupakan sebuah tradisi di kota Kudus yang diadakan menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan. Dandangan merupakan pasar malam yang diadakan di sekitar Menara Kudus, sepanjang jalan Sunan Kudus, dan meluas ke lokasi-lokasi di sekitarnya. Pada tradisi dandangan ini diperdagangkan beraneka ragam kebutuhan rumah tangga mulai dari peralatan rumah tangga, pakaian, sepatu, sandal, hiasan keramik, sampai dengan mainan anak-anak serta makan dan minuman.
Tradisi ini sudah ada sejak 450 tahu yang lalu atau tepatnya zaman Syeh Jakfar Shodiq (Sunan Kudus). Pada saat itu, setiap menjelang bulan puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara menunggu pengumuman dari Sang Guru tentang awal puasa. Para santri tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga dari daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur. Karena banyaknya orang berkumpul, tradisi ‘Dandangan’ kemudian tidak sekadar menunggu pengumuman resmi dari Masjid Menara tentang awal puasa, tetapi juga dimanfaatkan para pedagang untuk berjualan di lokasi itu.
7. Megengan
Di Surabaya, menjelang Ramadhan ada tradisi yang disebut ‘Megengan’. Konon, tradisi ini dimulai dari kawasan Ampel, di sekitar Masjid Ampel, Surabaya. ‘Megengan’ ditandai dengan makan apem, semacam serabi tebal berdiameter sekitar 15 senti, dibuat dari tepung beras. Apemnya nyaris tawar, seperti kue mangkok yang dipakai warga keturunan Tionghoa untuk sembahyangan menjelang Imlek.
Diduga nama apem atau apam berasal dari kata afwan dalam bahasa Arab yang berarti maaf. Tradisi makan apem ini untuk memaknai permintaan maaf kepada sesama saudara, kerabat, dan teman. Sebetulnya, yang terjadi bukanlah sekadar tradisi makan apem, melainkan melaksanakan selamatan atau tahlilan dengan hidangan apem dan pisang raja untuk mendoakan arwah saudara dan kerabat yang telah meninggal, sekaligus minta maaf. Setelah tahlilan, apem dan pisang dibagikan kepada semua keluarga dan tetangga.

8. Nyadran
Biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal.
Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga membawa makanan sendiri. Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya.
‘Nyadran’ atau ‘sadranan’ berasal dari kata sodrun yang artinya gila atau tidak waras. Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras.
Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.
Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga.

9. Perlon Unggahan
Menjelang bulan Ramadhan, masyarakat di Banyumas akan mengadakan syukuran besar-besaran yang disebut ‘Perlon Unggahan’. Aneka macam masakan tradisional disajikan, di antaranya daging serundeng sapi dan sayuran berkuah yang wajib dihidangkan. Kedua menu tersebut uniknya harus disajikan oleh para pria dewasa, dan jumlahnya harus 12 orang. Atau jumlah orang bisa disesuaikan dengan kambing atau sapi yang dikorbankan. (*)




Post a Comment for "Tradisi Menjelang Ramadhan"